Santri secara umum adalah sebutan bagi seseorang yang mendalami pendidikan agama islam di pesantren, biasanya menetap di tempat tersebut hingga pendidikannya selesai.
Santri di indonesia umumnya identik dengan sarungan, kopiah dan baju koko. Sarungan yang berasal dari kata "Syar'an", yang artinya syariat atau pedoman dalam beribadah maka santri diharuskan pintar dan cakap dalam menjalankan syariat islam.
“Sedangkan "Kopiah" yang berasal dari kata "Khufiya" atau "khofiy" yang artinya "sembunyi atau samar", yang biasa di gunakan sebagai penutup kepala di Indonesia adalah dengan tujuan betapa pintar dan hebat nya seorang santri, maka ia harus bisa menyembunyikan atau menutupi kesombongannya dengan peci tersebut,”
Sedangkan "Koko" yang asal katanya "libasuttaqwa" yang artinya pakaian taqwa, maksudnya adalah seorang santri harus selalu menunjukkan pribadi yang bertaqwa kepada Tuhannya dimana saja berada.
Keberadaan spesies yang bernama Santri sepertinya perlu diperhatikan. Santri adalah penjahit interaksi sosial budaya dan agama dalam masyarakat agar tetap lestari. Salah satu pola pengkaderan dari sistem pendakwahan Islam ala Wali Songo agar tradisi dan budaya Islam Nusantara tetap ada yang menjaga hingga yaumil akhir.
Selain itu perannya di lini pembangunan sdh terlihat sebelum kemerdekaan dan tokoh-tokohnya cenderung radikal untuk mengisinya. Pemahaman tentang radikalisme tidak semua tentang hal yang negatif tergantung bentuk gerakannya bagaimana. Jika radikalisme diramu dalam bentuk yang berlawanan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan agama maka gerakan itu harus diwaspadai bahkan diberantas namun jika bentuk gerakan tersebut sesuai dengan norma-norma yang ada seperti yang telah dicontohkan oleh para tokoh Islam yang sebagian telah disebutkan di atas, maka radikalisme demikian patut untuk dilestarikan dan dikembangkan.
Di Indonesia sendiri tokoh-tokoh gerakan Islam radikal adalah para santri. Sultan Agung, Pangeran Diponegoro, H.O.S. Tjokroaminoto, K.H. Ahmad Dahlan, K.H. Hasyim Asy’ari, Gus Dur, dan banyak tokoh lainnya berangkat dari status santri. Dengan demikian, seharusnya pemuda NU dan khususnya para santri dapat mengambil contoh perjuangan mereka.
Menelisik dari prediksi Nur Cholis Madjid (Cak Nur) pada tahun 1990an bahwa NU akan panen raya 25 tahun mendatang karena hausnya intelektual muda yang notabene beralatar belakang santri akan diskursus Islam serta kemudahan akses santri untuk masuk ke perguruan tinggi baik dalam maupun luar negeri pada saat itu, khususnya perguruan tinggi yang berlatar belakang studi kajian keislaman. Namun, fakta pada saat ini lebih dari itu. Kemudahan dan banyaknya para santri dan pelajar NU mengakses perguruan tinggi favorit dalam negeri seperti UGM, ITB, UI, dan lainnya bahkan luar negeri menambah potensi NU untuk merambah ke dalam semua bidang kehidupan.
Dengan potensi ini seharusnya saat inilah waktunya para santri dan pemuda NU yang terutama telah atau sedang mengenyam pendidikan di perguruan tinggi bergerak radikal sesuai dengan uswah, contoh, yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. dan para penerusnya. Sekitar dua dekade terakhir, globalisasi menjadi wacana publik yang menarik perhatian sejumlah pihak. Ini mengindikasikan bahwa ada sesuatu yang penting dari globalisasi sehingga banyak kalangan terpanggil untuk meresponnya.
Sampai derajat tertentu, eksistensi keberadaan santri masih terbilang lemah. Ketika terjaga dalam tidur panjangnya, umat Muslim sangat terkejut karena Eropa telah jauh meninggalkan mereka, terutama dalam hal ekonomi dan sains teknologi. Umat Muslim kemudian menggebu-gebu untuk segera mengejar Eropa. Celakanya, kuku-kuku kolonialisme Eropa terlanjur tertancap dalam tubuh umat Muslim. Dalam kaca mata sejarah, saat-saat seperti inilah adanya peranan santri didalamnya. Tapi kembali pada realitas, dimana santri berdiri di masa kekinian?...
Santri pada dasarnya harus mampu menjadi avant-garde dalam penulisan sastra Islam yang membumi dan universal serta mampu membaca kekinian dan kedisinian realitas kehidupan bukan hanya berada dalam potret kesilaman masa. Mencermati ciri ke-khasan santri yang menjadi sebuah pandangan masyarakat sekitar sekarang ini bahwa santri di dominasi hanya fiqh-mindeddan melekatnya dengan kitab kuning, tidak sedikit masyarakat beranggapan bahwa santri hanya mampu menguasai pemikiran yang berbau fiqh/hukum saja dan tidak bisa membaca kekinian dan bersaing dengan peradaban bangsa-bangsa lain.
Eksplorasi dinamika masyarakat di era globalisasi ini berimplikasi terhadap eksistensi pesantren di Indonesia sebagai indegeneous culture asli Indonesia. Saat ini tantangan yang dihadapi pesantren jauh lebih berat dibanding yang dihadapi pesantren di era sebelumnya, seolah dunia ini sedang lari tunggang langgang (runway world) karena begitu cepatnya perubahan yang terjadi. Dalam posisi ini peranan santri sangatlah berpengaruh, mau tidak mau santri tidak boleh duduk termangu menyaksikan perubahan zaman. Santri dituntut meresponnya dengan bijaksana, karena pada dasarnya di satu sisi santri menjadi tumpuan perubahan moral bangsa dan di sisi yang lain mampu melahirkan kaum terdidik yang religius.
Implementasi semua itu tentu saja memerlukan pemikiran dan analisis yang matang. Santri tidak bisa grusa-grusu untuk mereformasi bahkan merevolusi diri demi menyesuaikan dengan modernitas zaman. Reposisi santri dari pusaran kejahiliyahan modernitas harus kembali pada pemberdayaan ummat. Menulis sama saja dengan membaca zaman, begitulah kiranya.
Resolusi Jihad fii Sabilillah 22 Oktober. Salah satunya mari berjihad lewat tulisan.. Dulu di zamannya pernah kita dengar sederet nama santri yang aktif dan giat menulis tentang kehidupan ini, sebut saja Zawawi D.Imron, Cecep Zam-zam Noor, Kyai Musthofa Bisri (Gus Mus) dan setelah agak lama kita kenal Kuswaidi Syafi’i dengan puisinya “tarian mabuk Allah”. Secara kuantitas tentunya mereka tidak sebanding jika dilihat dari jumlah santri yang demikian amat banyak tersebar di penjuru Nusantara sekarang ini. Kalau boleh bertanya ada apa dengan santri yang kuat dalam pembacaannya tapi lemah dalam penulisan?
Dalam hal ini seakan para imam waktu sadar betul akan keberlangsungan sebuah perjalanan waktu, hidup ini tidak hanya masa lalu yang penuh kenangan dan masa kini dengan kekiniannya tetapi masih ada masa depan dengan bayangan ghaibnya yang tak ada satupun mengetahuinya kecuali Sang Maha. Jika dikaitkan dengan pepatah, “ilmu yang terhenti akan menjadi sebuah penyakit” tentunya santri akan giat dan berusaha sekuat mungkin menulis gagasan bacaanya dalam sebuah tulisan.
Tradisi tulis-menulis yang dulu pernah digaungkan oleh para ulama, sudah saatnya meski perlahan santri membangkitkannya lagi. Belajarlah dari sejarah, ambil apinya bukan abunya, kajilah sejarah bukan dari kronologinya tapi peristiwa besarnya yang melahirkan nilai-nilai dan garis-garis perjuangan.
Disamping itu, Saat ini riskan tampil para "penggoreng" isu. Membuat berita-berita yang diada-adakan. Akibatnya, mereka para ulama jatuh hina dihadapan umat. Tuduhan antek komunis, mufti bayaran, Kiai duit, dan kalimat-kalimat keji lainnya menjadi dzikir dan wirid mereka. Ditambah lagi para ulama kita adalah sosok-sosok manusia tulus yang memang tidak mengharapkan dunia dan penghargaan manusia. Mereka tak pernah sedikit pun "menolong" diri sendiri dengan menjawab hoax-hoax tersebut.
Serangan-serangan ini tujuannya menghilangkan kepercayaan umat kepada ulama, Ustad-ustadnya, Kyai-kyainya, Habaib-Habaibnya dan mengalihkannya kepada ulama-ulama yang "direkomendasikan" oleh para penyerang tersebut (Ustad/Syekh WAHABI yang dikendalikan Asing)
Memang Indonesia dan Islam saat ini mau dipecah. Salah satunya menyerang lewat NU. Memang NU kuat kultur dan budaya pesantrennya, makanya diserang dulu.
Lalu peran apa yang seharusnya santri lakukan sekarang apa jika melihat ulama' dan kiyai mereka dicaci, dihina dan diisukan dengan berita yang tidak-tidak?
Tak lain adalah harus ikut serta dalam "perang" dan yang terang-terangan Membid'ah-bid'ahkan, men-Syirik-syirikkan bahkan Meng-Kafirkan tersebut, namun dengan cara bil-hikmah wal mau'idhatil hasanah.
Kita ini memang berada dalam kondisi peperangan, yaitu perang siber, maka berita “hoax” harus dilawan dan disikapi dengan cerdas dan harus pandai memilah dan memilih berita yang datang dari media online saat ini.
Bila pihak lawan rajin menyebar hoax dan fitnah, jangan dilawan dengan hoax dan fitnah. Lawanlah dengan menyebarkan berita yang benar. Perbanyak menyebar postingan yang meluruskan kesalahpahaman, tanpa menghujat dan mencaci. Santri itu merangkul, bukan memukul. Selain itu santri juga harus menggali potensi literasi yang ada guna untuk menangkal berita “hoax”.
Santri saat ini bukan hanya dihadapkan persoalan-persoalan agama saja, melainkan juga harus mengerti persoalan bangsa dan negara, sebab dipundak santri setidaknya ada 2 amanah besar, yaitu Amanah Diniyyah (agama) dan amanah wathaniyyah (negara). “Amanah agama misalnya santri harus bisa memahami betul persoalan-persoalan agama, baik yang terjadi di Indonesia ataupun di luar Indonesia. Amanah wathoniyyah bahwa setiap santri harus ikut serta bersama pemerintah dalam menjaga keutuhan dan kemaslahatan bangsa ini,
Sebab jasa perjuangan para kaum nasionalis, ulama dan santri dalam merebut kemerdekaan Indonesia itu tidak bisa dianggap biasa atau sepele. Misalnya saja, bagaimana dahulu ketika hadlratusysyaikh Hasyim Asy’ari pada tahun 1914 sudah memiliki gagasan besar yaitu menggabungkan antara Islam dan nasionalisme, Islam dan kebangsaan.
Sebab Islam saja tanpa kebangsaan belum tentu bisa menyatukan manusia, kita lihat misalnya seperti negara-negara di timur tengah yang sampai saat ini perang saudara, perang agama dll. Atau Kebangsaan, nasionalisme saja tanpa Islam, maka nasionalisme yang kering, sekuler, liar, tidak punya spirit ataupun nilai.
Maka Islam dan mencintai tanah air adalah wajib hukumnya bagi seluruh santri, sampai-sampai Mbah Hasyim asy’ari mempunyai jargon “Hubbul wathan minat iyman” mencintai tanah air adalah bagian dari iman. Dan atas kebutuhan tersebutlah Mbah Hasyim mengeluarkan Fatwa Resolusi Jihad NU. Atas Fatwa jihad tersebutlah banyak santri yang ikut berjuang bersama dalam merebut kemerdekaan bangsa ini. Misalnya saja santri pesantren tebu Ireng yang bernama Harun, dengan gagah berani meledakkan mobil Brigjend Mallabi (NICA), lalu bagaimana juga dulu santri yang bernama Asy’ari menurunkan dan merobek-robek bendera Belanda.
“Maka, peringatan hari santri kali ini adalah momentum kita bersama untuk mengenang jasa para pahlawan baik dari kalangan nasionalis, ulama dan santri serta menjaga 2 amanah besar yang dititipkan kepada seluruh santri dan rakyat Indonesia yaitu amanah diniyyah (agama) dan amanah wathaniyyah (negara), SELAMAT HARI SANTRI NASIONAL 2017.
Posting Komentar